Wakaf telah
menjadi instrumen dalam perekonomian berbasis agama yang sudah banyak menyebar
kemaslahatan terhadap tatanan ekonomi umat ini. Berdasarkan praktik yang ada
dalam masyarakat, ketika mendengar kata wakaf maka umumnya orang akan berpikir tentang
aset wakaf yang tidak bergerak seperti masjid, mushalla, sekolah, rumah yatim
piatu, makam, dan tanah. Dalam artian persepsi wakaf di masyarakat tertahan
pada pengelolaan yang tidak produktif. Padahal, wakaf bisa dikelola secara
produktif sebagaimana pada abad ke-8 dan ke-9 Hijriah yang dipandang sebagai
zaman keemasan dunia wakaf. Pada saat itu wakaf tidak hanya terfokus pada
masjid atau aset tidak produktif lainnya, namun juga meliputi tanah pertanian, toko,
kebun, pabrik roti, pasar, pabrik, dan lain – lain. Aset – aset tersebut adalah
aset produktif yang dapat membawa kemaslahatan secara kontinyu terhadap
perekonomian umat. Namun tentu, untuk mengelola aset wakaf diperlukan permodalan.
Untuk itu, kita bisa memanfaatkan wakaf tunai yang merupakan salah satu bentuk
wakaf produktif dengan aset bergerak.
Wakaf tunai (cash waqf) adalah
wakaf yang dilakukan oleh seseorang, sekelompok atau lembaga/badan hukum tertentu
dalam bentuk uang tunai. Wakaf tunai adalah metode wakaf yang memiliki nilai
ekonomi yang strategis karena pemanfaatannya lebih luas dibandingkan metode
wakaf lainnya. Selain itu, wakaf tunai juga memiliki potensi yang besar. Badan Wakaf
Indonesia (BWI) memperkirakan potensi wakaf tunai di Indonesia adalah sebesar
Rp 120 triliun per tahunnya. Wakaf tunai memang sangat potensial dikarenakan lebih
“murah”. Kita tidak perlu untuk memiliki aset dengan harga mahal, namun dengan
menyisihkan uang tabungan pun kita sudah bisa memulai berwakaf. Untuk memanfaatkan
wakaf tunai, terdapat beberapa cara yang dapat dipraktikkan. Uang hasil wakaf
bisa digunakan untuk modal usaha untuk kemudian dimanfaatkan keuntungannya
sebagaimana pendapat dari mazhab Hanafi. Atau wakaf tunai bisa dipraktikkan sesuai kebiasaan
yang berlaku di masyarakat sebagaimana pendapat Ibn Abidin. Bisa juga di zaman
kontemporer ini wakaf tunai diinvestasikan dalam wujud saham, sukuk, atau
diletakkan di deposito perbankan syariah dan keuntungannya disalurkan untuk kepentingan
wakaf.
Peran wakaf
dalam memberi kebermanfaatan tidak lepas dari peran seorang nadzir. Terlebih lagi
pada wakaf tunai yang membuat peran nadzir menjadi lebih besar. Untuk diketahui, nadzir adalah pihak
yang menerima harta benda wakaf dari pemberi wakaf (wakif) untuk dikelola dan
dikembangkan sesuai dengan peruntunkannya. Dengan begitu, nadzir adalah ujung
tombak dari wakaf yang menentukan produktifitas dari aset yang diwakafkan.
Mempertimabangkan
potensi wakaf tunai yang besar, tentu profesionalisme seorang nadzir sangat
diperlukan. Sayangnya, belum banyak nadzir wakaf di Indonesia yang mengelola
wakafnya secara profesional, dikarenakan banyaknya nadzir wakaf yang hanya
menjadikan profesi nadzir sebagai pekerjaan sampingan. Hasil penelitian Pusat
Bahasa dan Budaya (PBB) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2006, terhadap
500 responden nadzir di 11 provinsi menyatakan bahwa 84% dari mereka hanya bekerja
sambilan dan tidak diberi upah. Sedangkan hanya 16% dari responden yang bekerja sebagai
nadzir secara penuh dan terfokus. Belum lagi wakaf di Indonesia lebih banyak
yang dikelola secara tradisional atau perseorangan, yakni sebesar 66% dari
responden. Yang dikelola dengan organisasi secara profesional sebesar 16%, dan yang
berbadan hukum sebesar 18%.
Namanya saja
wakaf produktif, tentu produktifitas ini akan bergantung pada siapa yang
mengelola. Pada wakaf tunai, pengelolaan yang masih tradisional tentu akan
berdampak terhadap efektifitas dana wakaf. Dana wakaf yang sama, akan memiliki
dampak yang berbeda terhadap masyarakat jika dikelola secara berbeda, oleh
nadzir profesional dan nadzir yang masih memiliki mengelolanya secara tradisional.
Banyak faktor yang menjadi penyebab mengapa pengelolaan wakaf oleh nadzir yang
bersifat tradisional masih sangat tinggi. Bisa jadi salah satu penyebabnya adalah
memang pengelolaan wakaf yang masih swadaya oleh masyarakat, belum dikontrol
secara terpusat oleh pemerintah. Ini sangat mungkin terjadi mengingat wakif bisa
menentukan sendiri nadzir yang akan mengelola wakafnya, bahkan wakif bisa
mengelola aset wakafnya sendiri. Untuk itu, jika tidak ada intervensi dari
pemerintah atau lembaga terkait maka sedikitnya jumlah nadzir yang mengelola wakafnya
secara profesional, sulit untuk ditingkatkan. Langkah yang bisa diambil adalah pemberdayaan
nadzir, terutama di pedesaan.
Belum lagi
jika bicara mengenai wakaf tunai. Nadzir bukan hanya bertugas untuk mengelola
aset tetap, tapi juga nadzir berpeluang untuk mengembangkan uang tunai yang
diwakafkan tersebut. Untuk itu, nadzir yang mengelola wakaf tunai akan lebih
profesional jika ia dapat menempatkan uang wakaf kedalam instrument investasi
yang tepat, sehingga return dari investasi uang wakaf akan lebih banyak
dan dapat lebih dimanfaatkan untuk kepentingan umat. Tentu tidak mudah, dan sulit
rasanya nadzir yang hanya bekerja sampingan dapat melakukan ini, kecuali jika
ia telah lama menyelam di dunia investasi. Kemampuan seperti ini harus dilatih,
sehingga nadzir perlu untuk diberikan pelatihan untuk mengelola uang secara
optimal.
Selain
pemberdayaan, hak – hak nadzir pun penting untuk diperhatikan agar mereka
senantiasa menjunjung profesionalitas. Nadzir tidak boleh dizholimi seperti
misalnya mereka dibiarkan mengelola wakaf secara sukarela, tanpa diberi upah. Meskipun
wakaf adalah instrumen yang memiliki dasar agama yang memiliki stereotip sukarela,
namun itu tidak bisa menjadi pembelaan bahwa nadzir dibiarkan mengelola aset wakaf
tanpa diberi upah. Toh nadzir memang berhak mendapatkan 10% dari hasil
wakaf yang dikelolanya sesudah dikeluarkan biaya – biaya operasional dan beban –
beban lainnya. Karena perhatian seperti ini secara tidak langsung juga akan
berdampak pada profesionalitas nadzir itu sendiri. Terakhir, sebenarnya profesionalitas
nadzir ada di tangan kita sebagai wakif. Ketika berwakaf, kita dapat menentukan
siapa nadzir yang akan mengelola aset wakaf yang kita berikan. Untuk itu,
pilihlah nadzir yang profesional. Mungkin tingkat keprofesionalitas nadzir yang
kita pilih tidak memengaruhi catatan kebaikan kita di sisi Allah, namun dengan
memilihi nadzir yang profesional kita turut memperbesar kemungkinan agar wakaf
yang kita berikan dapat menebar manfaat lebih banyak kepada umat.
bimasislam.kemenag.go.id
literasizakatwakaf.com
Referensi:
Kementerian Agama
Republik Indonesia. (2013). Panduan Pengelolaan Wakaf Tunai.
Mubarok, S. (2019).
Kedudukan Hukum Nadzir Dalam Wakaf Tunai Studi Komparasi Empat Madzhab dan UU
Wakaf (No. 41 Tahun 2004). Institutional Repository IAIN Tulungagung
Rahmawati, Y. (2012).
PERSEPSI WAQIF DALAM BERWAKAF TUNAI. Al-Iqtishad: Vol. V, No. 1
Syakir, A. (2016).
Wakaf Produktif. State Islamic University of Sumatera Utara, Medan
Indonesia
Republika.
(2014). BWI: Potensi Wakaf Indonesia Capai 120 Triliun. Diakses dari https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/wakaf/14/05/23/n615ie-bwi-potensi-wakaf-indonesia-capai-120-triliun pada
tanggal 20 Oktober 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar