Laman

Minggu, 20 Oktober 2019

Agar Wakaf Tunai Tidak Sia – Sia




Wakaf telah menjadi instrumen dalam perekonomian berbasis agama yang sudah banyak menyebar kemaslahatan terhadap tatanan ekonomi umat ini. Berdasarkan praktik yang ada dalam masyarakat, ketika mendengar kata wakaf maka umumnya orang akan berpikir tentang aset wakaf yang tidak bergerak seperti masjid, mushalla, sekolah, rumah yatim piatu, makam, dan tanah. Dalam artian persepsi wakaf di masyarakat tertahan pada pengelolaan yang tidak produktif. Padahal, wakaf bisa dikelola secara produktif sebagaimana pada abad ke-8 dan ke-9 Hijriah yang dipandang sebagai zaman keemasan dunia wakaf. Pada saat itu wakaf tidak hanya terfokus pada masjid atau aset tidak produktif lainnya, namun juga meliputi tanah pertanian, toko, kebun, pabrik roti, pasar, pabrik, dan lain – lain. Aset – aset tersebut adalah aset produktif yang dapat membawa kemaslahatan secara kontinyu terhadap perekonomian umat. Namun tentu, untuk mengelola aset wakaf diperlukan permodalan. Untuk itu, kita bisa memanfaatkan wakaf tunai yang merupakan salah satu bentuk wakaf produktif dengan aset bergerak.

      Wakaf tunai (cash waqf) adalah wakaf yang dilakukan oleh seseorang, sekelompok atau lembaga/badan hukum tertentu dalam bentuk uang tunai. Wakaf tunai adalah metode wakaf yang memiliki nilai ekonomi yang strategis karena pemanfaatannya lebih luas dibandingkan metode wakaf lainnya. Selain itu, wakaf tunai juga memiliki potensi yang besar. Badan Wakaf Indonesia (BWI) memperkirakan potensi wakaf tunai di Indonesia adalah sebesar Rp 120 triliun per tahunnya. Wakaf tunai memang sangat potensial dikarenakan lebih “murah”. Kita tidak perlu untuk memiliki aset dengan harga mahal, namun dengan menyisihkan uang tabungan pun kita sudah bisa memulai berwakaf. Untuk memanfaatkan wakaf tunai, terdapat beberapa cara yang dapat dipraktikkan. Uang hasil wakaf bisa digunakan untuk modal usaha untuk kemudian dimanfaatkan keuntungannya sebagaimana pendapat dari mazhab Hanafi. Atau  wakaf tunai bisa dipraktikkan sesuai kebiasaan yang berlaku di masyarakat sebagaimana pendapat Ibn Abidin. Bisa juga di zaman kontemporer ini wakaf tunai diinvestasikan dalam wujud saham, sukuk, atau diletakkan di deposito perbankan syariah dan keuntungannya disalurkan untuk kepentingan wakaf.

Peran wakaf dalam memberi kebermanfaatan tidak lepas dari peran seorang nadzir. Terlebih lagi pada wakaf tunai yang membuat peran nadzir menjadi  lebih besar. Untuk diketahui, nadzir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari pemberi wakaf (wakif) untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntunkannya. Dengan begitu, nadzir adalah ujung tombak dari wakaf yang menentukan produktifitas dari aset yang diwakafkan.

Mempertimabangkan potensi wakaf tunai yang besar, tentu profesionalisme seorang nadzir sangat diperlukan. Sayangnya, belum banyak nadzir wakaf di Indonesia yang mengelola wakafnya secara profesional, dikarenakan banyaknya nadzir wakaf yang hanya menjadikan profesi nadzir sebagai pekerjaan sampingan. Hasil penelitian Pusat Bahasa dan Budaya (PBB) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2006, terhadap 500 responden nadzir di 11 provinsi menyatakan bahwa 84% dari mereka hanya bekerja sambilan dan tidak diberi upah. Sedangkan hanya 16% dari responden yang bekerja sebagai nadzir secara penuh dan terfokus. Belum lagi wakaf di Indonesia lebih banyak yang dikelola secara tradisional atau perseorangan, yakni sebesar 66% dari responden. Yang dikelola dengan organisasi secara profesional sebesar 16%, dan yang berbadan hukum sebesar 18%.

Namanya saja wakaf produktif, tentu produktifitas ini akan bergantung pada siapa yang mengelola. Pada wakaf tunai, pengelolaan yang masih tradisional tentu akan berdampak terhadap efektifitas dana wakaf. Dana wakaf yang sama, akan memiliki dampak yang berbeda terhadap masyarakat jika dikelola secara berbeda, oleh nadzir profesional dan nadzir yang masih memiliki mengelolanya secara tradisional. Banyak faktor yang menjadi penyebab mengapa pengelolaan wakaf oleh nadzir yang bersifat tradisional masih sangat tinggi. Bisa jadi salah satu penyebabnya adalah memang pengelolaan wakaf yang masih swadaya oleh masyarakat, belum dikontrol secara terpusat oleh pemerintah. Ini sangat mungkin terjadi mengingat wakif bisa menentukan sendiri nadzir yang akan mengelola wakafnya, bahkan wakif bisa mengelola aset wakafnya sendiri. Untuk itu, jika tidak ada intervensi dari pemerintah atau lembaga terkait maka sedikitnya jumlah nadzir yang mengelola wakafnya secara profesional, sulit untuk ditingkatkan. Langkah yang bisa diambil adalah pemberdayaan nadzir, terutama di pedesaan.

Belum lagi jika bicara mengenai wakaf tunai. Nadzir bukan hanya bertugas untuk mengelola aset tetap, tapi juga nadzir berpeluang untuk mengembangkan uang tunai yang diwakafkan tersebut. Untuk itu, nadzir yang mengelola wakaf tunai akan lebih profesional jika ia dapat menempatkan uang wakaf kedalam instrument investasi yang tepat, sehingga return dari investasi uang wakaf akan lebih banyak dan dapat lebih dimanfaatkan untuk kepentingan umat. Tentu tidak mudah, dan sulit rasanya nadzir yang hanya bekerja sampingan dapat melakukan ini, kecuali jika ia telah lama menyelam di dunia investasi. Kemampuan seperti ini harus dilatih, sehingga nadzir perlu untuk diberikan pelatihan untuk mengelola uang secara optimal.

Selain pemberdayaan, hak – hak nadzir pun penting untuk diperhatikan agar mereka senantiasa menjunjung profesionalitas. Nadzir tidak boleh dizholimi seperti misalnya mereka dibiarkan mengelola wakaf secara sukarela, tanpa diberi upah. Meskipun wakaf adalah instrumen yang memiliki dasar agama yang memiliki stereotip sukarela, namun itu tidak bisa menjadi pembelaan bahwa nadzir dibiarkan mengelola aset wakaf tanpa diberi upah. Toh nadzir memang berhak mendapatkan 10% dari hasil wakaf yang dikelolanya sesudah dikeluarkan biaya – biaya operasional dan beban – beban lainnya. Karena perhatian seperti ini secara tidak langsung juga akan berdampak pada profesionalitas nadzir itu sendiri. Terakhir, sebenarnya profesionalitas nadzir ada di tangan kita sebagai wakif. Ketika berwakaf, kita dapat menentukan siapa nadzir yang akan mengelola aset wakaf yang kita berikan. Untuk itu, pilihlah nadzir yang profesional. Mungkin tingkat keprofesionalitas nadzir yang kita pilih tidak memengaruhi catatan kebaikan kita di sisi Allah, namun dengan memilihi nadzir yang profesional kita turut memperbesar kemungkinan agar wakaf yang kita berikan dapat menebar manfaat lebih banyak kepada umat.


bimasislam.kemenag.go.id
literasizakatwakaf.com


Referensi:
Kementerian Agama Republik Indonesia. (2013). Panduan Pengelolaan Wakaf Tunai.

Mubarok, S. (2019). Kedudukan Hukum Nadzir Dalam Wakaf Tunai Studi Komparasi Empat Madzhab dan UU Wakaf (No. 41 Tahun 2004). Institutional Repository IAIN Tulungagung

Rahmawati, Y. (2012). PERSEPSI WAQIF DALAM BERWAKAF TUNAI. Al-Iqtishad: Vol. V, No. 1

Syakir, A. (2016). Wakaf Produktif. State Islamic University of Sumatera Utara, Medan Indonesia

Republika. (2014). BWI: Potensi Wakaf Indonesia Capai 120 Triliun. Diakses dari https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/wakaf/14/05/23/n615ie-bwi-potensi-wakaf-indonesia-capai-120-triliun pada tanggal 20 Oktober 2019



Tidak ada komentar:

Posting Komentar